»»  read more

ilmu faroid

1.1. Pengertian dan Latar Belakang Ilmu Faroid

Secara etimologi Faroid mufrodnya fardh artinya kewajiban, bagian tertentu, atau lebih jelasnya, sebagai berikut:
عِلم يعرف به كيفية قسمة التركة على مستحقها
Artinya: "Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan seseorang yang meninggal kepada yang berhak menerimanya.
Harta terkadang membawa kebahagiaan dan terkadang juga membawa kesengsaraan, banyak orang mengakui kebahagiaan sering dianalogikan pada harta kekayaan. Mengapa bisa demikian? status sosial yang lebih mengangkat derajat seorang manusia diantaranya dengan banyak harta.
Akan tetapi harta yang melimpah, tatkala ditinggalkan pemiliknya (meninggal dunia), sering menjadi pertengkaran dan perselisihan bagi keluarga (ahli waris) yang ditinggalkannya. Bahkan bisa menimbulkan pembunuhan akibat ketidakpuasan dalam pembagian harta warisan.
Sebelum Islam datang, pembagian harta warisan hanya sebatas pada kaum laki-laki saja. Hal ini yang menjadikan sikap diskriminatif pada masa jahiliyah terhadap hak-hak kaum wanita, sehingga wanita pada masa itu kehilangan hak atas harta peninggalan dari keluarganya. Dimasa jahiliyah juga terjadi saling waris mewarisi hanya atas dasar sumpah, bukan atas dasar yang telah ditetapkan oleh hukum agama. Sikap diskriminatif juga terjadi pada anak-anak yang masih belum dewasa, mereka tidak mendapatkan hak pembagian harta warisan.
Islam juga menganjurkan kepada setiap manusia sebelum dirinya meninggal, agar memikirkan bagaimana nasib anak-anaknya kelak. Sebagiamana firman Alloh S.W.T. dalam kitab-Nya:

Artinya: "Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu"….. (QS. an-Nisaa : 34).
Sangatlah jelas, betapa Islam sangat mempedulikan hak asasi manusia, sehingga nasib anak-anak yang akan ditinggalkannya pun harus menjadi perhatian bagi orang tua.

1.2. Alasan Pemilihan Judul

Skripsi berjudul PENGENALAN ILMU FAROIDH TERHADAP SANTRI MIFTAHUL HUDA MELALUI TERJEMAH ROHBIYAH, ini diharapkan mampu menciptakan sebuah kaidah-kaidah baru dalam pemahaman tentang ilmu faroid di Miftahul Huda. Harapan untuk mempelajari dan bisa mengamalkan tentunya sangat besar sekali.
Hal ini tidak akan terwujud bila tidak disertai dengan keingainan yang besar dan dorongan-dorongan dari pembimbing. Yang paling utama yaitu limpahan taufik dan hidayah dari Alloh sajalah yang mendorong mengapa Penulis memilih judul ini. Besar harapan Penulis untuk bisa menyelesaikan skripsi ini ysng sekaligus bermanfaat untuk Penulis sendiri.

1.3. Maksud dan Tujuan

Menelaah, meneliti, dan berdialog merupakan metoda yang digunakan untuk kesuksesan dan keberhasilan dalam menyusun beberapa teori dan ilmu yang diharapkan bisa memberi manfaat bagi Penlis sendiri. Sehingga menjadikan santri yang mampu menuangkan ide dan pemikirannya melalui tulisan, tidak hanya pada lisan saja.
Orang yang mengerti ilmu faroidh ia akan diangkat derajatnya oleh Alloh SWT. Sebagaimana firman-Nya :

Artinya: "Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. " (QS. al-Mujadalah: 11)
Begitulah janji Alloh S.W.T. bagi orang yang beriman dan mau menuntut ilmu.
Untuk lebih memahami dan mengembangkan pengetahuan mengenai ilmu faroid, mengingat pada realita kehidupan dimasa sekarang terutama dalam pembagian harta warisan sudah sangat jauh dari ketentuan-ketentuan syariat agama Islam.

1.4. Pembatasan Masalah

Pada skripsi ini hanya akan dijelaskan tentang penyebab dan penghalang mendapat warisan, hijab, ahli waris dan ketentuan-ketentuan waris lainnya. Disamping itu penulis akan memaparkan bagaimana tingkat pemahaman para santri terhadap pelajaran ilmu faroid di pesantren Miftahul Huda ini. Mulai menghafal nadzom rohbiyah dan pembelajarannya di kelas-kelas atau melalui beberapa metoda yang di sediakan di Pesantren.
Penjelasan yang disesuaikan dengan temuan-temuan penulis dari berbagai sumber dan referensi ini mudah-mudahan bisa memberi inspirasi. Sekaligus pula mampu memberikan motivasi untuk memahami dan mempelajari ilmu faroid.

1.5. Kerangka Pemikiran

Langkah-langkah yang diambil untuk menyusun sebuah karya yang baku dan bagus tidaklah mudah. Penulis mengakui dengan penuh keterbatasan pemikirannya sehingga merasa perlu untuk membuat sebuah kerangka pemikiran, yang akan dijadikan objek penelitian. Sehingga mempermudah untuk proses penelitian selanjutnya.
Untuk itu penulis telah menyusun beberapa judul dan sub judul dalam sebuah kerangka berikut ini:

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Pengertian Ilmu Faroid.
1.2. Alasan Pemilihan Judul.
1.3. Maksud dan Tujuan.
1.4. Pembatasan Masalah.
1.5. Kerangka Pemikiran.
1.6. Hipotesis.

BAB II
KONSEP DASAR ILMU FAROID
2.1. Arti Kata-kata.
2.2. Mengetahui kedudukan materi kata melalui Nahwu Shorof, dan Balaghoh.
2.3. Terjemah.

BAB III
MENGENAL FAROID MELALUI KITAB ROHBIYAH
3.1. Sekilas Tentang Kitab Rohbiyah.
3.2. Sistematika Pengurusan Harta Warisan.
3.3. Pengaturan Warisan.
3.4. Hikmah Dan Faidah Pembagian Harta Waris.

BAB IV
DAMPAK NEGATIF DAN POSITIF BELAJAR MELALUI TERJEMAH ROHBIYAH
4.1. Hikmah Memahami Ilmu Faroid.
4.2. Belajar Melalui Terjemah Rohbiyah.

BAB V
PENUTUP
5.1. Saran untuk Umum.
5.2. Saran untuk Al-Mamater.
5.3. Do`a dan harapan

1.6 Hipotesis
Ilmu faroid sebagai salah satu cabang ilmu yang dipelajari di Pesantren Miftahul Huda, adalah sebagai ilmu andalan yang menjadi primadona untuk menguji kemampuan seorang santri. Apakah mampu atau tidak? Hal ini sering menjadi tolok ukur bagi tingkat kecerdasan seseorang.
Tidak cukup sekali bagi orang yang ingin paham betul tentang ilmu faroid, dari mulai harus menghafal semua ahli waris, sebab-sebabnya, termasuk yang menghalangi waris itu sendiri bahkan sampai kepada sistematika pembagian harta waris.
»»  read more

Sejarah Wali Songo


Sejarah Sembilan Wali / Walisongo (wali9)
August 25, 2009 oleh alibaba  
Tersimpan pada Sejarah dan Budaya
“Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid
Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.
Maulana Malik Ibrahim (1)
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n
Sunan Ampel (2)
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.n
Sunan Giri (3)
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.n
Sunan Bonang (4)
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Kalijaga (5)
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.n
Sunan Gunung Jati (6)
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.n
Sunan Drajat (7)
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M
Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun
Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk.
Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.n
Sunan Kudus (8)
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria (9)
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

»»  read more

PENGANTAR
Assalamu’alikum warhmatullahi wabarakatuh
Segala puji milik Allah Ta’ala, Rabb semesta alam, dengan sebenar-benar pujian.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan hambaNya Muhammad Shallallahu ‘alihi
wasallam, kepada keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga hari akhir.
Amma Ba’du :
Terjemahan kitab Al Ajrumiyah yang sedang anda baca ini merupakan salah satu kitab
dasar dalam ilmu nahwu yang dikarang oleh As Syaikh Ash Shanhajy. Dalam melakukan
penerjemahan, saya tidak menambahkan sesuatu tambahan apapun kecuali yang saya anggap
perlu untuk dijelaskan karena samarnya makna yang dimaksud. Pun setelah saya jelaskan, saya
masih membiarkan beberapa istilah dalam kitab ini, karena sebagaimana Nahwu yang berarti
perumpamaan, maka saya membiarkan istilah itu tetap menjadi istilah. Penting bagi kita untuk
membiarkan istilah-istilah itu. Misalnya, kita tetapkan bahwa al kalam adalah al kalam meskipun
kita tahu artinya adalah kalimat. Dan kita tetapkan bahwa fa’il adalah fa’il meskipun kita tahu
bahwa artinya adalah orang yang melakukan perbuatan. Karena itu semua telah masyhur, maka
kita jangan membuat istilah baru yang nantinya akan menyulitkan kita juga.
Dalam melakukan penerjemahan, saya menjadikan kitab matan al ajrumiyah (biasa
disebut jurmiyah) cetakan Al Idrus Jakarta sebagai bahan terjemah. Adapun jurmiyah yang ada di
hadapan pembaca (yang berbahasa arab dalam format microsoft word). Saya ambil dari
www.attasmeem.com yang saya dapat dari cd freeware yang disusun oleh lukman post bandung.
saya sengaja tidak memberikan penjelasan apapun pada kesempatan kali ini tetapi insya Allah
jika waktunya ada, saya akan memberikan secercah penjelasan sesuai ilmu yang saya miliki.
Tunggu aja!
Terjemahan ini saya dedikasikan kepada diri saya sendiri tentunya dalam rangka
muraja’ah dan muthala’ah biar gak lupa. kepada para saudaraku sepengajian MUI UI yang rajin
dan semangat dalam menuntut ilmu untuk membantu kalian yang kini sedang belajar bahasa arab
tiap kamis dan jumat di MUI. Kepada para saudaraku seperjuangan di rohis Metalurgi dan
Material 2005 yang baru akan menebar jaring-jaring dakwah di jurusan yang katanya mau belajar
nahwu (nih.. ane siapin bahannya). Dan kepada semua yang ingin mendapatkan terjemahan ini
secara gratis (tinggal print doank!).
Saya menyadari bahwa ilmu yang saya miliki tidaklah seberapa. Oleh karena itu, besar harapan
saya agar ada orang yang menyempurnakan terjemahan ini dengan ikhlas dan untuk tujuan
perbaikan.
Semoga Allah menjadikan usaha saya ini sebagai amal kebaikan untuk saya dan bermanfaat
untuk kaum muslimin.. amien...
Al Faqiir Ila Allah
Abu Abdin Nafi’ Khairul Umam Ibnu Syahruddin Al Batawy
Dimulai hari senin, 12 Juni 2006 Selesai hari selasa 13 Juni 2006, Pkl 09:51
Mengisi kekosongan hari-hari awal liburan panjang 3 bulan
(terjemahnya ada setelah arabnya)
مَتنُْ الآْجُرُّومِيَّةِ فِي اَلنَّحْوِ للشيخ الصنهاجي
مُقَدِّمَة بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيم قَالَ اَلمُْصَنِّفُ -رحمه اَللَّهُ -:
أَنْوَاعُ اَلْكَلاَمِ
اَلْكَلاَمُ : هو اَللَّفْظُ اَلمُْرَكَّبُ, اَلمُْفِيدُ بِالْوَضْع وَأَقْسَامُهُ ثَلاَثَةٌ : اسم وَفِعْلٌ وَحَرْفٌ جَاءَ لمَِعْنًى
لَى, 8 نْ, وَعَ 8 ى, وَعَ 8 نْ, وَإِلَ 8 يَ مِ 8 فْضِ, وَهِ 8 رُوفِ اَلخَْ 8 لَّامِ, وَحُ 8 فِ وَال 8 ولِ اَلأَْلِ 8 تَّنْوِينِ, وَدُخُ 8 فض وَال 8 الخ 8 عْرَفُ ب Z مُ يُ Z الاِسْ Z فَ
وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءُ, وَالْكَافُ, وَاللَّامُ, وَحُرُوفُ اَلْقَسَمِ, وَهِيَ اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاء وَالْفِعْلُ يُعْرَفُ بِقَدْ, وَالسِّينِ وَسَوْفَ وَتَاءِ اَلتَّأْنِيثِ اَلسَّاكِنَة وَالحَْرْفُ مَا لاَ يَصْلُحُ مَعَهُ دَلِيلُ اَلاِسْمِ وَلاَ دَلِيلُ اَلْفِعْلِ .
بَابُ اَلإِْعْرَاب اَلإِْعْرَابُ هُوَ تغيير أَوَاخِرِ اَلْكَلِمِ لاِخْتِلاَفِ اَلْعَوَامِلِ اَلدَّاخِلَةِ عَلَيْهَا لَفْظًا أَوْ تَقْدِيرًا.
زْم 8 فْضُ, وَلاَ جَ 8 نَّصْبُ, وَالخَْ 8 عُ, وَال 8 رَّفْ 8 كَ اَل 8 نْ ذَلِ 8 مَاءِ مِ 8 لِلأَْسْ 8 زْمٌ, فَ 8 فْضٌ, وَجَ 8 صْبٌ, وَخَ 8 عٌ, وَنَ 8 عَةٌ رَفْ Z هُ أَرْبَ Z سَامُ Z وَأَقْ
فِيهَا, وَلِلأَْفْعَالِ مِنْ ذَلِكَ اَلرَّفْعُ, وَالنَّصْبُ, وَالجَْزْمُ, وَلاَ خَفْضَ فيها .
بَابُ مَعْرِفَةِ عَلاَمَاتِ اَلإِْعْرَاب لِلرَّفْعِ أَرْبَعُ عَلاَمَاتٍ : الضمة ، والواو وَالأَْلِفُ, وَالنُّون مِ, 8 سَّالِ 8 ثِ اَل 8 ؤَنَّ 8 مْعِ اَلمُْ 8 يرِ, وَجَ 8 مْعِ اَلتَّكْسِ 8 فْرَدِ, وَجَ 8 مِ اَلمُْ 8 وَاضِعَ فِي اَلاِسْ 8 عَةِ مَ 8 ي أَرْبَ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 لاَمَة لِ 8 تَكُونُ عَ 8 ضَّمَّةُ فَ Z ا اَل Z أَمَّ Z فَ
وَالْفِعْلِ اَلمُْضَارِعِ اَلَّذِي لَمْ يَتَّصِلْ بِآخِرِهِ شَيْء وكَ, 8 يَ أَبُ 8 مْسَةِ, وَهِ 8 مَاءِ اَلخَْ 8 ي اَلأَْسْ 8 مِ, وَفِ 8 سَّالِ 8 رِ اَل 8 ذَكَّ 8 مْعِ اَلمُْ 8 وْضِعَينِْ فِي جَ 8 ي مَ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 ة لِ 8 لاَمَ 8 تَكُونُ عَ 8 وَاوُ فَ Z ا اَلْ Z وَأَمَّ
وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَال وَأَمَّا اَلأَْلِفُ فَتَكُونُ عَلاَمَةً لِلرَّفْعِ فِي تَثْنِيَةِ اَلأَْسْمَاءِ خَاصَّة مِير 8 مْعٍ, أَوْ ضَ 8 مِيرُ جَ 8 ثْنِيَةٍ, أَوْ ضَ 8 مِيرُ تَ 8 هِ ضَ 8 ضَارِعِ, إِذَا اِتَّصَلَ بِ 8 فِعْلِ اَلمُْ 8 ي اَلْ 8 عِ فِ 8 لرَّفْ 8 ة لِ 8 لاَمَ 8 تَكُونُ عَ 8 نُّونُ فَ Z ا اَل Z وَأَمَّ
اَلمُْؤَنَّثَةِ اَلمُْخَاطَبَةِ .
Muqaddimah
بِسْمِ اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ
Telah berkata pengarang kitab ini (As Syaikh As Shonhajy) rahimahullah :
Macam-macam Kalam
Al kalam adalah Lafadz yang tersusun yang berfaedah dengan bahasa arab. Kalam itu ada
tiga bagian : Isim, fi’il, dan huruf yang memiliki arti.
Isim itu dikenal dengan khafadh, tanwin, dan kemasukan alif dan lam. Dan huruf khafadh itu
adalah :
مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءُ, وَالْكَافُ, وَاللَّام
dan huruf qasam (sumpah) yaitu waw, ba dan ta.
Fiil itu dikenal dengan huruf
قَدْ, وَالسِّينِ وَسَوْفَ وَتَاءِ اَلتَّأْنِيثِ اَلسَّاكِنَةِ (ta ta’nits yang mati) Huruf itu adalah sesuatu yang tidak sah bersamanya petunjuk isim dan petunjuk fi’il.
Bab Al I’rab
I’rab itu adalah berubahnya akhir-akhir kalimat karena perbedaan amil-amil yang masuk atasnya
baik secara lafadz atau taqdir. Bagian i’rab itu ada empat, yaitu rafa’, nashab, khofadh atau jar,
dan jazm.
Setiap isim itu bisa rafa’, nashab, khafad dan tidak bisa jazm
Setiap fi’il itu bisa rafa’, nashab, jazm, dan tidak bisa khofadh.
Bab Mengenal tanda-tanda I’rab
1. Bagi rafa’ itu ada empat tanda, yaitu dhammah, waw, alif dan Nun
Adapun Dhammah, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada empat tempat :
1. Pada Isim Mufrad,
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannas salim, dan
4. fiil mudhari’ yang tidak bersambung di akhirnya dengan sesuatu
Adapun waw, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada dua tempat :
1. Pada jama’ mudzakkar salim, dan
2. Isim-isim yang lima yaitu
أَبُوكَ, وَأَخُوكَ, وَحَمُوكَ, وَفُوكَ, وَذُو مَال Adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada isim-isim tatsniyyah yang tertentu
Adapun Nun maka ia menjadi tanda bagi rafa’ pada fi’il mudhari yang bersambung dengan
dhamir tatsniyah, dhamir jama’, dan dhamir muannats mukhatabah.
2. Bagi Nashab itu ada lima tanda, yaitu Fathah, alif, kasrah, ya, dan hadzfunnuun (membuang
nun).
Adapun fathah maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tiga tempat :
1. Pada Isim Mufrad
2. Jama’ taksir, dan
3. fi’il Mudhari apabila masuk atasnya amil yang menashobkan dan tidak bersambung di
akhirnya dengan sesuatupun
adapun alif, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada isim-isim yang lima contohnya :
.aku melihat bapakmu dan saudaramu)dan apa-apa yang menyerupai contoh ini( رَأَيْتُ أَبَاكَ وَأَخَاكَ
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada jama’ muannats salim
Adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada tatsniyah dan jama’
Adapun Hadzfunnuun, maka ia menjadi tanda bagi nashab pada fi’il-fi’il yang lima yang ketika
rafa’nya dengan tetap nun.
3. Bagi Khafadh atau jar itu ada 3 tanda, yaitu kasrah, ya, dan fathah.
Adapun kasrah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Isim Mufrad yang menerima tanwin
2. jama’ taksir yang menerima tanwin, dan
3. jama’ muannats salim
adapun ya, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada tiga tempat:
1. Pada isim-isim yang lima
2. Isim Tatsniyah, dan
3. jama’
adapun fathah, maka ia menjadi tanda bagi khafadh pada isim-isim yang tidak menerima
tanwin.
4. Bagi jazm itu ada 2 tanda, yaitu sukun dan al hadzfu (membuang).
Adapun sukun, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il yang shahih akhirnya
Adapun al hadzfu, maka ia menjadi tanda bagi jazm pada fi’il mudhari yang mu’tal akhirnya
dan pada fi’il-fi’il yang ketika rafa’nya dengan tetap nun.
Fashl (pasal)
Yang di i'rab itu ada dua bagian : ada yang di i’rab dengan harkat (baris) dan ada yang di i’rab
dengan huruf.
Maka yang di i’rab dengan baris itu ada empat macam :
1. Isim Mufrad
2. Jama’ taktsir
3. Jama’ muannats salim, dan
4. Fi’il Mudhari’ yang tidak bersambung dengan akhirnya sesuatupun
Dan semuanya itu (yang di i’rab dengan baris) di rafa’kan dengan dhammah, dinashabkan dengan
fathah, dan dijazmkan dengan sukun. Dan keluar dari itu tiga hal; jama’ muannats salim
dinashabkan dengan kasrah, isim yang tidak menerima tanwin dijarkan (dikhafadhkan) dengan
fathah dan fi’il mudhari’ yang mu’tal akhirnya dijazmkan dengan membuang akhirnya
Yang dii’rab dengan huruf itu ada empat macam :
1. Isim Tatsniyah
2. Jama’ mudzakkar salim
3. isim-isim yang lima, dan
4. fi’il-fiil yang lima, yaitu يفعلان وتفعلان ويفعلون وتفعلون وتفعلين
adapun isim tatsniyah, maka ia dirafa’kan dengan alif, dinashabkan dengan ya dan dijarkan
dengan ya.
Adapun jama’ mudzakkar salim, maka ia dirafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan ya dan
dijarkan dengan ya.
Adapun Isim-isim yang lima, maka di rafa’kan dengan waw, dinashabkan dengan alif, dan
dijarkan dengan ya.
Adapun fi’il-fi’il yang lima, maka dirafa’kan dengan huruf nun, dan dinashabkan dan dijazamkan
dengan membuang huruf nun.
Bab tentang Fi’il-fi’il
Fi’il itu ada tiga :
1. Fiil Madhi
2. Fiil Mudhari’
3. Fiil Amr
Contohnya ضَرَبَ (madhi), (mudhari’) , وَيَضْرِبُ (amr’), وَاضْرِبْ
Maka Fiil Madhi itu difathahkan selamanya dan fiil amar dijazamkan selamanya dan fiil
mudhari’ itu fiil yang di awalnya terdapat salah satu dari huruf tambahan yang empat yang
terkumpul dalam perkataan anaytu (alif, nun, ya, dan ta). Fiil mudhari’ itu dirafa’kan selamanya
kecuali adaa amil nashab atau jazm yang masuk padanya.
Maka amil nashab (huruf yang menashabkan) itu ada sepuluh, yaitu:
أَنْ, وَلَنْ, وَإِذَنْ, وَكَيْ, وَلاَمُ كَيْ, وَلاَمُ اَلجُْحُودِ, وَحَتَّى, وَالجَْوَابُ بِالْفَاءِ, وَالْوَاوِ, وَأَوْ.
Dan amil jazm itu ada delapan belas, yaitu :
لَمْ, وَلمََّا, وَأَلَمْ, وَأَلمََّا, وَلاَمُ اَلأَْمْرِ وَالدُّعَاءِ, وَ "لاَ" فِي اَلنَّهْيِ وَالدُّعَاءِ, وَإِنْ وَمَا وَمَنْ وَمَهْمَا, وَإِذْمَا ، وأي وَمَتَى,
)dan idzan pada syair tertentu( . وَأَيْنَ وَأَيَّانَ, وَأَنَّى, وَحَيْثُمَا, وَكَيْفَمَا, وَإِذًا فِي اَلشِّعْرِ خاصة
Bab Tentang Isim-isim yang Dirafa’kan
Isim-isim yang dirafa’kan itu ada tujuh :
1. Isim Faa’il
2. Isim Maf’ul yang tidak disebut failnya (naaibul fa’il)
3. Mubtada
4. khabar mubtada
5. Isim Kaana dan saudara-saudaranya
6. khabar inna dan saudara-saudaranya
7. Dan yang mengikuti yang dirafa’kan, yaitu ada empat : Na’at, ‘athaf, taukid, dan badal
Bab Faa’il
Faa’il adalah isim yang dirafa’kan yang disebut sebelum faa’il itu fi’ilnya. Dan faa’il itu ada dua
bagian, yaitu faa’il isim dzhahir dan faa’il isim dhamir.
Maka faa’il isim dzhahir itu seperti contoh
قَامَ زَيْدٌ, وَيَقُومُ زَيْدٌ, وَقَامَ الزَّيْدَانِ, وَيَقُومُ الزَّيْدَانِ, وَقَامَ الزَّيْدُونَ, وَيَقُومُ الزَّيْدُونَ, وَقَامَ اَلرِّجَالُ, وَيَقُومُ اَلرِّجَالُ,
وَقَامَتْ هِنْدٌ, وَقَامَتْ اَلْهِنْدُ, وَقَامَتْ الْهِنْدَانِ, وَتَقُومُ الْهِنْدَانِ, وَقَامَتْ الْهِنْدَاتُ, وَتَقُومُ الْهِنْدَاتُ, وَقَامَتْ اَلْهُنُودُ,
وَتَقُومُ اَلْهُنُودُ, وَقَامَ أَخُوكَ, وَيَقُومُ أَخُوكَ, وَقَامَ غُلاَمِي, وَيَقُومُ غُلاَمِي,
Dan Faa’il isim dhamir itu ada 12, yaitu :
ضَرَبْتُ, وَضَرَبْنَا, وَضَرَبْتَ, وَضَرَبْتِ, وَضَرَبْتُمَا, وَضَرَبْتُمْ, وَضَرَبْتنَُّ, وَضَرَبَ, وَضَرَبَتْ, وَضَرَبَا, وَضَرَبُوا,
وضربن
Bab Maf’ul yang tidak disebut Faa’ilnya (Naaibul faa’il)
Naaibul faa’il adalah isim yang dirafa’kan yang tidak disebut bersamanya faa’ilnya. jika fi’ilnya
itu fi’il madhi maka didhammahkan huruf awalnya dan dikasrahkan apa yang sebelum akhirnya
dan jika fi’ilnya itu fi’il mudhari’ maka didhammahkan huruf awalnya dan difathahkan huruf
yang sebelum akhirnya. Naa’ibul faa’il itu ada dua, yaitu Naaibul faa’il isim dzhahir dan naaibul
faa’il isim dhamir.
Maka naaibul faa’il isim dzhahir itu contohnya :
ضُرِبَ زَيْدٌ" وَ"يُضْرَبُ زَيْدٌ" وَ"أُكْرِمَ عَمْرٌو" وَ"يُكْرَمُ عَمْرٌو
dan naaibul faa’il isim dhamir contohnya:
ضُرِبْتُ وَضُرِبْنَا, وَضُرِبْتَ, وَضُرِبْتِ, وَضُرِبْتُمَا, وَضُرِبْتُمْ, وَضُرِبْتنَُّ, وَضُرِبَ, وَضُرِبَتْ, وَضُرِبَا, وَضُرِبُوا,
وضُربن
Bab Mubtada dan khabar
Mubtada adalah isim yang dirafa’kan yang terbebas dari amil-amil lafadzh.
Khabar adalah isim yang dirafa’akan yang disandarkan kepada mubtada’. Contohnya :
"زَيْدٌ قَائِمٌ" وَ"الزَّيْدَانِ قَائِمَانِ" وَ"الزَّيْدُونَ قَائِمُونَ "
Mubtada itu ada dua bagian, yaitu mubtada isim dzahir dan mubtada isim dhamir
Maka Mubtada isim dzahir itu adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya (seperti
contoh di atas)
Mubtada isim dhamir itu ada dua belas :
أنا ونحن وأنتَ وأنتِ و وأنتما وأنُتم وأنتن وهو وهى وهما وهم وهن
Dan apa-apa yang menyerupai contoh ini( أنا قائم( و)نحن قائمون )contohnya :
Khabar itu ada dua bagian, yaitu khabar mufrad dan khabar ghair (bukan) mufrad.
Khabar mufrad contohnya زيد قائم
Khabar ghair mufrad itu ada empat :
1. Jar dan majrur
2. dzharaf
3. fi’il beserta faa’ilnya
4. Mubtada beserta khabarnya.
Contohnya: ( (زيد فى الدار وزيد عندك وزيد قام ابوه وزيد جاريته ذاهبة
Bab Amil-amil yang masuk kepada mubtada dan khabar
Amil-amil yang masuk kepada mubtada dan khabar itu ada tiga macam, yaitu kaana dan saudarasaudaranya,
innna dan saudara-saudaranya dan dzhanna (dzhanantu) dan saudara-saudaranya.
Adapun kaana dan saudarasaudaranya
maka
sesungguhnya mereka
merafa’kan isism (mubtada) dan menashabkan khabar. Maka kaana dan suadara-saudaranya itu
adalah : , كَانَ, وَأَمْسَى, وَأَصْبَحَ, وَأَضْحَى, وَظَلَّ, وَبَاتَ, وَصَارَ, وَلَيْسَ, وَمَا زَالَ, وَمَا اِنْفَكَّ, وَمَا فَتِئَ, وَمَا بَرِحَ
,وَمَا دَامَ
dan apa-apa yang bisa ditashrif dari semuanya, seperti :
كَانَ, وَيَكُونُ, وَكُنْ, وَأَصْبَحَ وَيُصْبِحُ وَأَصْبِحْ,
Contohnya :
"كَانَ زَيْدٌ قَائِمًا, وَلَيْسَ عَمْرٌو شَاخِصًا"
dan sesuatu yang menyerupai contoh ini.
Adapun inna dan saudara-saudaranya maka sesungguhnya mereka itu menashabkan mubtada
dan merafa’kan khabar. inna dan saudara-saudaranya adalah :
إِنَّ، وَأَنَّ، وَلَكِنَّ، وَكَأَنَّ، وَلَيْتَ، وَلَعَلَّ،
: contohnya إِنَّ زَيْدًا قَائِمٌ، وَلَيْتَ عَمْرًا شَاخِصٌ
Makna inna dan anna adalah untuk taukid (penekanan), laakinna untuk istidraak
(mempertentangkan), kaanna untuk tasybih (penyerupaan), laita untuk tamanniy (pengandaian),
la’alla untuk tarajiy (pengharapan kebaikan) dan tawaqqu’ (ketakutan dari nasib buruk).
Adapun dzhanantu (dzhanna) dan saudara-saudaranya maka sesunggunya mereka itu
menashabkan mubtada dan khabar karena keduanya itu (mubtada dan khabar) adalah maf’ul bagi
dzhanna dan saudara-saudaranya. Dzhanantu dan saudara-saudaranya itu :
ظَنَنْتُ، وَحَسِبْتُ، وَخِلْتُ، وَزَعَمْتُ، وَرَأَيْتُ، وَعَلِمْتُ، وَوَجَدْتُ، وَاتَّخَذْتُ، وَجَعَلْتُ، وَسَمِعْتُ؛
: contohnya ظَنَنْتُ زَيْدًا قَائِمًا، وَرَأَيْتُ عَمْرًا شاخصًا
Bab Na’at (sifat)
Na’at itu mengikuti yang disifati pada keadaan rafa’nya, nashabnya, khafadhnya, ma’rifatnya,
dan nakirahnya. Contohnya:
قَامَ زَيْدٌ اَلْعَاقِلُ, وَرَأَيْتُ زَيْدًا اَلْعَاقِلَ, وَمَرَرْتُ بِزَيْدٍ اَلْعَاقِلِ.
Ma’rifat (kata khusus) itu ada lima:
: Isim Dhamir (kata ganti), contohnya . أَنَا وَأَنْتَ 1
:Isim Alam (nama), contohnya . زَيْدٍ وَمَكَّةَ 2
: Isim Mubham (kata tunjuk), contohnya . هَذَا, وَهَذِهِ, وَهَؤُلاَءِ 3
: Isim yang terdapat alif lam (al), contohnya. اَلرَّجُلُ وَالْغُلاَمُ 4
5. apa-apa yang diidhafahkan kepada salah satu dari ini yang empat.
Nakirah (kata
umum) adalah setiap isim yang tersebar (beraneka ragam) pada jenisnya ,tidak tertentu pada
sesuatupun. Dan untuk memudahkannya, nakirah itu adalah setiap yang dapat اَلرَّجُلُ
وَالْغُلاَمُ menerima alif lam, contohnya
Bab ‘Athaf
Huruf ‘athaf ada sepuluh, yaitu :
اَلْوَاوُ, وَالْفَاءُ, وَثُمَّ, وَأَوْ, وَأَمْ, وَإِمَّا, وَبَلْ, وَلاَ, وَلَكِنْ, وَحَتَّى فِي بَعْضِ اَلمَْوَاضِعِ
Waw, fa, tsumma, aw, am, imma, bal, la, laakin, dan hatta pada sebagian tempat.
Jika kamu athafkan dalam keadaan rafa’ maka rafa’akan, dalam keadan nashab maka
nashabkan, dalam keadaan khafad maka khafadhkan, dalam keadaan jazm maka jazmkan.
Contohnya :
"قَامَ زَيْدٌ وَعَمْرٌو, وَرَأَيْتُ زَيْدًا وَعَمْرًا, وَمَرَرْتُ بِزَيْدٍ وَعَمْرٍو, وَزَيْدٌ لَمْ يَقُمْ وَلَمْ يَقْعُدْ
Bab Taukid (menekankan atau menguatkan)
Taukid itu mengikuti yang diperkuat dalam keadaan rafa’nya, nashabnya, khafadhnya, dan
ma’rifatnya. Taukid itu telah tertentu lafadzh-lafazhnya, yaitu :
اَلنَّفْسُ, وَالْعَينُْ, وَكُلُّ, وَأَجْمَعُ
Dan yang mengikuti ajam’u, yaitu
أَكْتَعُ, وَأَبْتَعُ, وَأَبْصَعُ
Contohnya :
قَامَ زَيْدٌ نَفْسُهُ, وَرَأَيْتُ اَلْقَوْمَ كُلَّهُمْ, وَمَرَرْتُ بِالْقَوْمِ أَجْمَعِينَ .
Bab Badal
Apabila dibadalkan isim dengan isim atau fi’il dengan fi’il maka mengikuti badalnya itu pada
seluruh i’rabnya. Badal itu ada empat :
. بَدَلُ اَلشَّيْءِ مِنْ اَلشَّيْء 1
. بَدَلُ اَلْبَعْضِ مِنْ اَلْكُلِّ 2
.بَدَلُ اَلاِشْتِمَالِ 3َ
. بَدَلُ اَلْغَلَطِ 4
Contohnya:
"قَامَ زَيْدٌ أَخُوكَ, وَأَكَلْتُ اَلرَّغِيفَ ثُلُثَهُ, وَنَفَعَنِي زَيْدٌ عِلْمُهُ, وَرَأَيْتُ زَيْدًا اَلْفَرَسَ
Kamu ingin berkata al farasa (kuda) akan tetapi kamu ternyata salah,
maka kamu ganti dengan zaidan menjadi رَأَيْتُ زَيْدًا اَلْفَرَسَ
Bab Isim-isim Yang dinashabkan
Isim-isim yang dinashabkan itu ada lima belas:
1. Maf’ul bih
2. Mashdar
3. Dzharaf zaman
4. Dzharaf makan
5. Hal
6. Tamyiz
7. Mustatsna
8. Isim Laa
9. Munada
10. Maf’ul min ajlih
11. Maf’ul ma’ah
12. Khabar kaana
13. Isim inna
14. khabar saudara kaana dan isim saudara inna
15. Yang mengikut dinashabkan, yaitu ada empat : na’at, ‘athaf, taukid, dan badal
Bab Maf’ul bih
Maf’ul bih adalah isim yang dinashabkan yang dikenakan padanya suatu perbuatan.
: Contohnya ضَرَبْتُ زَيْدًا, وَرَكِبْتُ اَلْفَرَسَ
Maf’ul bih itu ada dua bagian, yaitu maf’ul bih dzhahir dan maf’ul bih dhamir.
Maf’ul bih dzhahir telah dijelaskan sebelumnya (pada bab-bab yang menjelaskan tentang
dzhahir).
Sedangkan maf’ul bih dhamir itu terbagi menjadi dua:
1. Muttashil (bersambung)
Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas, yaitu :
ضَرَبَنِي, وَضَرَبَنَا, وَضَرَبَكَ, وَضَرَبَكِ, وَضَرَبَكُمَا, وَضَرَبَكُمْ, وَضَرَبَكُنَّ, وَضَرَبَهُ, وَضَرَبَهَا, وَضَرَبَهُمَا, وَضَرَبَهُمْ,
وَضَرَبَهُنَّ
2. Munfashil (terpisah)
Maf’ul bih dhamir munfashil ada dua belas, yaitu:
إِيَّايَ, وَإِيَّانَا, وَإِيَّاكَ, وَإِيَّاكِ, وَإِيَّاكُمَا, وَإِيَّاكُمْ, وَإِيَّاكُنَّ, وَإِيَّاهُ, وَإِيَّاهَا, وَإِيَّاهُمَا, وَإِيَّاهُمْ, وَإِيَّاهُنَّ .
Bab Mashdar
Mashdar adalah isim yang dinashabkan yang datang menempati tempat ketiga dalam tashrif fi’il.
Contohnya :
ضَرَبَ يَضْرِبُ ضَرْبًا
Mashdar terbagi dua :
1. Lafdzhy
2. Ma’nawy
Jika lafazdh mashdarnya bersesuaian dengan lafadzh fi’ilnya maka itu trmasuk mashdar lafdzhy
contohnya :
قَتَلْتُهُ قَتْلاً
Dan jika mashdarnya bersesuaian dengan makna fi’ilnya bukan lafadhznya maka itu adalah
mashdar ma’nawy. Contohnya :
جَلَسْتُ قُعُودًا, ، وقمت وُقُوفًا
Bab Dzharaf Zaman (keterangan waktu) dan Dzaharaf Makan (keterangan
tempat)
Dzharaf zaman itu adalah isim zaman yang dinashabkan dengan taqdir maknanya fi (pada).
Contoh dzharaf zaman :
اَلْيَوْمِ, وَاللَّيْلَةِ, وَغَدْوَةً, وَبُكْرَةً, وَسَحَرًا, وَغَدًا, وَعَتَمَةً, وَصَبَاحًا, وَمَسَاءً, وَأَبَدًا, وَأَمَدًا, وَحِينًا
Dzharaf makan adalah isim makan yang dinashabkan dengan taqdir maknanya fi (pada).
Contohnya:
أَمَامَ, وَخَلْفَ, وَقُدَّامَ, وَوَرَاءَ, وَفَوْقَ, وَتحَْتَ, وَعِنْدَ, وَمَعَ, وَإِزَاءَ, وَحِذَاءَ, وَتِلْقَاءَ, وَثَمَّ, وَهُنَا
Bab Haal
Haal adalah isim yang dinashabkan yang menjelaskan tata cara yang sebelumnya samar.
Contohnya :
جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا" وَ"رَكِبْتُ اَلْفَرَسَ مُسْرَجًا" وَ"لَقِيتُ عَبْدَ اَللَّهِ رَاكِبًا"
Haal itu pasti nakirah dan haal itu hanya terjadi setelah kalamnya sempurna dan shahibul haal itu
pasti ma’rifat.
Bab Tamyiz
Tamyiz itu adalah isim yang dinashabkan yang menjelaskan dzat yang sebelumnya samar.
Contohnya :
"تَصَبَّبَ زَيْدٌ عَرَقًا", وَ"تَفَقَّأَ بَكْرٌ شَحْمًا" وَ"طَابَ مُحَمَّدٌ نَفْسًا" وَ"اِشْتَرَيْتُ عِشْرِينَ غُلاَمًا" وَ"مَلَكْتُ تِسْعِين نَعْجَةً" وَ"زَيْدٌ أَكْرَمُ مِنْكَ أَبًا" وَ"أَجْمَلُ مِنْكَ وَجْهًا"
Tamyiz itu pasti nakirah dan tamyiz hanya terjadi setelah kalamnya sempurna
Bab Istitsna
Huruf istitsna itu ada delapan, yiatu :
إِلَّا, وَغَيْرُ, وَسِوَى, وَسُوَى, وَسَوَاءٌ, وَخَلاَ, وَعَدَا, وَحَاشَا
Maka mustatsna (kalimat yang di istitsnakan) dengan huruf illaa dinashabkan jika
: kalamnya taam mujab contohnya قَامَ اَلْقَوْمُ إِلَّا زَيْدًا" وَ"خَرَجَ اَلنَّاسُ إِلَّا عَمْرًا
Jika kalamnya manfiy taam, maka boleh menjadikannya badal atau menashabkannya
: karena istitsna contohnya مَا قَامَ اَلْقَوْمُ إِلَّا زَيْدٌ" وَ"إِلَّا زَيْدًا
Jika kalamnya naaqish (kurang), maka i’rabnya sesuai dengan amil-amilnya,. Contohnya:
"مَا قَامَ إِلَّا زَيْدٌ" وَ"مَا ضَرَبْتُ إِلَّا زَيْدًا" وَ"مَا مَرَرْتُ إِلَّا بِزَيْدٍ
Dan Mustatsna dengan khalaa, ‘adaa, dan haasyaa maka boleh kita menashabkannya atau
menjarkannya. Contohnya :
"قَامَ اَلْقَوْمُ خَلاَ زَيْدًا وَزَيْدٍ" وَ"عَدَا عَمْرًا وَعَمْرٍو" وَ"حَاشَا بَكْرًا وَبَكْرٍ" .
Bab Laa
Ketahuilah! Bahwa apabila laa bertemu langsung dengan isim nakirah maka laa menashabkan
isim nakirah dengan tanpa tanwin dan tidak mengulang-ulang laa. Contohnya : لاَ رَجُلَ فِي اَلدَّارِ
Jika laa tidak bertemu langsung dengan nakirah maka wajib mengulang-ulang laa.
Contohnya : لاَ فِي اَلدَّارِ رَجُلٌ وَلاَ اِمْرَأَةٌ
J i k a m e n g u l a n g - u l a n g l a a
(berarti bertemu langsung dengan nakirah), maka boleh mengamalkannya (menjadikan laa
sebagai amil yang menashabkan) atau menyia-nyiakannya. Maka jika kamu suka, kamu katakan :
لاَ رَجُلَ فِي اَلدَّارِ وَلاَ اِمْرَأَةَ
Dan jika kamu suka, kamu katakan:
لاَ رَجُلٌ فِي اَلدَّارِ وَلاَ اِمْرَأَةٌ" .
Bab Munada (yang dipanggil)
Munada itu ada lima, yaitu :
)nama-nama(, 1المفرد اَلْعَلَمُ .
)nakirah yang termaksud(, 2 وَالنَّكِرَةُ اَلمَْقْصُودَةُ .
)nakirah yang tidak termaksud(, 3 وَالنَّكِرَةُ غَيْرُ اَلمَْقْصُودَةِ .
)yang diidhafahkan(, 4 وَالمُْضَافُ .
)yang menyerupai mudhaf( 5 وَالشَّبِيهُ بِالمُْضَافِ .
Adapun mufrad ‘alam dan nakirah maqsudah maka ia dimabnikan atas dhammah
dengan tanpa tanwin contohnya يَا زَيْدُ وَيَا رَجُلُ
Dan tiga munada sisanya itu tidak lain dinashabkan.
Bab Maf’ul min Ajlih
Maf’ul min ajlih adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sebab-sebab
terjadinya suatu perbuatan. Contohnya :
قَامَ زَيْدٌ إِجْلاَلاً لِعَمْرٍو وَقَصَدْتُكَ اِبْتِغَاءَ مَعْرُوفِكَ .
Bab Maf’ul Ma’ah
Maf’ul ma’ah adalah isim yang dinashabkan yang disebut untuk menjelaskan sesuatu yang
bersamanya dilakukan suatu perbuatan. Contohnya :
جَاءَ اَلأَْمِيرُ وَالجَْيْشَ وَاِسْتَوَى اَلمَْاءُ وَالخَْشَبَةَ
Adapun khabar kaana dan saudara-saudaranya dan ismu inna dan saudara-saudaranya maka
sungguh telah diberikan penjelasannya pada bab isim-isim yang dirafa’akan begitu juga dengan
yang mengikut dinashabkan (na’at, ‘athaf, taukid, badal) telah dijelaskan disana.
Bab Isim-isim yang Dikhafadhkan (dijarkan)
Isim-isim yang dikhafadhkan itu ada tiga bagian :
1. Dikhafadhkan dengan huruf khafadh
2. Dikhafadhkan dengan idhafah
3. Dikhafadhkan karena mengikuti yang sebelumnya
Adapun yang dijarkan dengan huruf yaitu apa-apa yang dijarkan dengan huruf
dan dengan huruf sumpah yaitu , مِنْ, وَإِلَى, وَعَنْ, وَعَلَى, وَفِي, وَرُبَّ, وَالْبَاءِ, وَالْكَافِ, وَاللَّامِ
مُذْ, وَمُنْذُ. dan dengan اَلْوَاوُ, وَالْبَاءُ, وَالتَّاءُِ
Adapun yang dijarkan dengan idhafah maka contohnya: دٍ8 لاَمُ زَيْ 8 غُ dan yang dijarkan dengan
i
d
hafah itu ada dua, pertama yang ditaqdirkan dengan lam dan kedua yang ditakdirkan dengan min.
Maka yang ditaqdirkan dengan lam contohnya: غُلاَمُ زَيْدٍ
Dan yang ditaqdirkan dengan min contohnya: ثَوْبُ خَزٍّ وَبَابُ سَاجٍ وَخَاتمَُ حَدِيدٍ
-Allah Maha Mengetahui kebenaran
»»  read more